Senin, 07 Desember 2015

Memelihara Sarana dan Prasarana Kampus berdasarkan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Maliki Malang
 Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester ganjil mata kuliah Sosiologi Hukum yang diampu oleh dosen :
MIFTAH SHOLEHUDDIN. M.HI

Disusun oleh :
DEWIRATRI NUR’ILMI                    NIM. 14220016



  
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015

Latar Belakang
            Kode etik merupakan suatu pola aturan atau tatanan etika yang menjadi sebuah pedoman seseorang dalam melakukan sebuah tindakan. Kode etik dalam suatu kelompok masyarakat biasanya memerlukan kesepakatan dari masyarakat itu sendiri di dalam kelompoknya.  Sejatinya, kode etik ini secara umum lebih cenderung kepada norma sosial, namun secara khusus di mana kode etik dengan sanksi yang berat dapat dikategorikan dalam norma hukum.
            Seperti halnya sebuah hukum yang diatur dalam suatu tempat, kode etik serta tata tertib yang merupakan sebuah aturan, ini juga ditujukan untuk membentuk sebuah masyarakat yang tertib dan teratur sehingga terciptalah kesejahteraan di dalamnya. Terciptanya tujuan tersebut akan terwujud dengan adanya kerjasama dari semua pihak.
            Tercapainya tujuan suatu hukum inilah yang disebut dengan efektivitas hukum dalam masyarakat. Berbicara mengenai efektivitas suatu hukum atau berlakunya hukum secara yuridis dan hukum berfungsi di dalam masayarakat apabila memenuhi beberapa faktor : (1) kaidah/peraturan, (2) penegak hukum, (3)sarana dan fasilitas yang digunakan penegak hukum, dan (4) kesadaran masyarakat.[1]
Dari keempat faktor di atas, kesadaran masyarakat merupakan salah satu yang biasanya menjadi problem dalam efektivitas hukum. Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat untuk memahami sebuah hukum  sering dikenal dengan kesadaran hukum.  Kesadaran hukum tidak pernah lepas dengan adanya kepatuhan hukum. Apabila seseorang tidak sadar akan hukum maka tidak akan ada kepatuhan,  namun kepatuhan tidak dapat diukur atas tahu atau tidaknya seseorang meneganai suatu hukum. Bisa saja mereka mengeri namun karena tidak adanya kesadaran diri (dari hati nurani), akhirnya pelanggaranlah yang terjadi.
Pada realitas yang terjadi di sekitar kampus UIN Maliki Malang, dari beberapa ruang kelas yang ada, banyak terdapat coretan pada kursi serta tembok. Hal ini memang tidak menimbulkan sebuah kerusakan yang fatal, namun hal ini menganggu keindahan dan kerapian suasana kelas. Selain keindahan dan kerapihan, kegiatan perkuliahan akan terganggu karena konsentrasi mahasiswa akan kacau akibat membaca coretan-coretan yang ada. Fenomena ini juga menunjukkan kurangnya kesadaran beberapa pihak dalam mematuhi peraturan yang berkenaan dengan pemeliharaan sarana dan prasarana kampus. Dari fakta yang telah diuraikan di atas, maka melalui penelitian sederhana ini, penulis akan menganalisis lebih jauh secara sosiologis berdasarkan ketaatan dan kepatuhan hukum mahasiswa UIN Maliki Malang dalam pemeliharaan sarana dan prasarana kampus sebagai fasilitas perkuliahan.
Metode Pengumpulan Data
            Dalam proses pengumpulan data, penulis mengunakan metode kualitatif yakni observasi, dokumentasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan cara penulis terjun langsung ke lapangan untuk mengamati masalah yang terjadi, baik melihat secara fakta hukum maupun sosial. Sedangkan wawancara penulis lakukan dengan menanyai beberapa pelaku pencoretan, mahasiswa bukan pelaku pencoretan, serta pandangan pihak yang lainnya mengenai tindakan corat-coret fasilitas kampus. Dan dokumentasi sebagai bukti atas realitas masalah yang sedang dan benar-benar terjadi.
Paparan Teori
            Keefektivitasan suatu hukum yang telah dipaparkan sebelumnya, akan tercapai dengan adanya empat faktor dimana salah satunya adalah kesadaran masyarakat sebagai subjek hukum. Menurut Indang Sulastri yang dikutip oleh Miftahus dalam artikel Implementasi Perwali Kota Malang no 19 tahun 2013, bahwa tingkat kepatuhan hukum setiap warga masyarakat dapat dikelompokkan menjadi, : (1) compliance, (2) identification dan (3) legal conscience. [2] Compliance adalah kepatuhan hukum karena unsur dipaksa atau lebih tepatnya kepatuhan tercipta apabila adanya kehadiran figur aparat. Misalnya ketertiban mahasiswa dikelas akan terlihat ketika di dalam kelas ada dosen. Berbeda apabila kelas tidak adanya dosen, maka kegaduhan akan terjadi.  Identification adalah tingkat kepatuhan terhadap hukum karena mengidentikkan perilaku bersangkutan dengan perilaku lingkungan, jadi peran lingkungan sosial merupakan faktor terciptanya kepatuhan hukum. Misalnya, seorang polisi lalu lintas akan selalu mematuhi marka karena statusnya sebagai aparat, dan akan malu apabila dia melanggar akan ditilang oleh teman satu kerjanya sendiri. Legal conscience adalah patuh karena adanya dorongan dari dalam diri sendiri. Misalnya, kesadaran seseorang akan selalu membuang sampah pada tempatnya. Hal ini karen adanya kesadaran dalam hati nuraninya akan dampak jika membuang sampah sembarangan.
Berkaitan dengan kepatuhan atas peraturan (hukum) serta dari penjelasan tingkat kepatuhan hukum seseorang di atas, dapat dikatakan kepatuhan seseorang terhadap adanya peraturan tidak selamanya dijamin berdasarkan kekuatan sanksi. Di dalam kajian-kajian sosiologis dibedakan menjadi dua ragam kepatuhan, (1) apakah kepatuhan itu hanya lahir saja (to comply), atau (2) lebih jauh pada tataran berkomitmen (to obey).[3] To comply  adalah dimana seseorang hanya sekedar menerima, menyetujui atau menuruti suatu hukum. To obey adalah dimana seseorang lebih kepada komitmennya untuk selalu mematuhi suatu hukum.
Dalam  konteks  kesadaran  hukum maka  tidak ada sanksi didalamnya, hal ini merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada (Ius kontitum) atau tentang hukum yang diharapkan  ada/dicita-citajan (ius konstituendum). Menurut Soerjono Seokanto ada empat indikator kesadaran hukum, [4]yaitu :
1.       Pengetahuan hukum; seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
2.       Pemahaman hukum; seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan pemahaman yang benar dari masyarakat tentang hakikat dan arti pentingnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
3.       Sikap hukum; seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum.
4.       Pola perilaku hukum; dimana seseorang atau dalam suatu masyarakat warganya mematuhi peraturan yang berlaku.
Oleh karean itu, untuk mencegah kecenderungan masyarakat untuk tidak patuh dan melanggar peraturan, secara sosiologis perlu adanya kontrol sosial. Menurut Soekanto, kontrol sosial merupakan suatu proses yang bertujuan untuk membimbing, mengawasi dan bahkan memaksa seseorang untuk patuh kepada aturan yang berlaku.[5]
Kontekstualisasi Aturan Hukum
            Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor penunjang dalam suatu kegiatan. Seperti halnya dalam kegiatan belajar dan mengajar, baik dari bangku sekolah sampai tingkat perguruan tinggi. Meja, kursi, dan ruang kelas adalah beberapa contoh fasilitas atau sarana dan prasarana. Di dalam penjagaannya, merupakan kewajiban bagi setiap warga sekolah atau kampus itu sendiri. Tidak memandang itu, guru/dosen, siswa/mahasiswa, dan cleaning service. Adanya sarana dan prasarana tersebut bertujuan untuk menunjang kelancaran proses perkuliahan (belajar mengajar) sehingga ilmu dapat tersampaikan dan diterima dengan baik. Demi tercapainya tujuan tersebut, pasti disetiap lembaga pendidikan terdapat aturan yang mengatur mengenai pemeliharaan sarana dan prasarana.
Di kampus UIN Maliki Malang, telah dicantumkan aturan mengenai kewajiban setiap mahasiswa yang menyebutkan kewajiban untuk selalu menjaga kebersihan dan memelihara sarana prasarana. Lebih tepatnya, pada surat keputusan rektor pada Bab III pasal 5 ayat 10 dan 11 menyebutkan bahwa,
Setiap mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, berkewajiban :
            10. Menjaga kebersihan, ketertiban dan keamanan kampus
            11. Memelihara sarana dan prasarana kampus. [6]

Pada ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa pemeliharaan semua sarana dan prasarana kampus merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan. Namun pada realitas yang terjadi di kampus UIN Maliki Malang masih banyak terjadi pelanggaran dan ketidak patuhan terhadap aturan yang ada. Dalam kasus ini, kewajiban sebagaimana tercantum dalam pasal di atas diabaikan dan dianggap sepele.
Selain berkaitan pada kewajiban, pada Bab IV tentang Larangan dan Pelanggaran, pada pasal 6 (9) mengenai pelanggaran merusak sarana dan prasarana, serta pada pasal 7 (3) disebutkan, merusak sarana dan prasarana merupakan salah satu pelanggaran berat yang dapat menimbulkan kerugian moral dan material. [7]
            Sedangkan pada Bab V tentang Bentuk dan Jenis Sanksi. Diatur pada pasal 8 , di mana bentuk sanksi mulai dari teguran, pembayaran ganti rugi, tidak mendapat layanan akademik, pencabutan hak akademik, skorsing, penangguhan penyerahan iajazah atau nilai, pemberhentian secara tidak hormat sampai penyerahan kepada pihak yang berwajib. Dan dari bentuk sanksi tersebut, pada pasal 9 di kelompokkan pada tiga jenis sanksi, yakni sanksi ringan, sedang dan berat. [8]
            Pada dasarnya di dalam kode etik dan tata tertib mahasiswa, sudah tercantum secara jelas mulai dari kewajiban, larangan sampai sanksinya. Sehingga apa yang terjadi pada kasus ini sudah jelas menyalahi ketiga hal tersebut. Sebagaimana dalam gambar berikut :



Berdasarkan gambar dari hasil observasi dan dokumentasi langsung di salah satu ruang kelas, selain merusak keindahan dan kerapian fasilitas, kata-kata yang tercantum di dalamnya juga tidak selayaknya di tuliskan di hadapan publik. Selain itu, di saat ada salah seorang yang mencoret-coret fasilitas, tidak ada yang menegur dan terkesan diabaikan.
Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku ini sudah jelas melanggar peraturan kampus. Selain itu tidak adanya sebuah kontrol dan dianggap sebuah hal yang biasa, sehingga peraturan terkesan diabaikan. Tidak adanya sebuah kontrol atau pengendalian sosial bisa menjadi salah satu faktornya. Dari teori kepatuhan hukum dari Indang Sulastri yang telah diuraikan di atas, maka problematika ini berlawanan dengan tingkatan kepatuhan legal conscience (kepatuhan dari diri sendiri). Suatu kepatuhan yang tidak tercipta karena tidak adanya kesadaran dan dorongan dari diri sendiri. Tingkat kepatuhan yang terjadi dalam masalah ini tidak tercapai sama sekali, bahkan ketika ada dosen ataupun tidak, serta anggapan yang menyepelekan akan pelanggaran tersebut. Seperti yang disebutkan oleh salah seorang mahasiswi yang tidak ingin disebutkan namanya, dalam wawancara, mengatakan, “biasanya kayak gitu dilakuin soalnya boring mbak di kelas. Makanya cari hiburan. Kalaupun ada aturannya juga dibiarin paling mbak, mana mungkin di cari satu persatu pelaku pencoretan.”[9] Sedangkan mahasiswa yang lain, Laras, dalam wawancara dari penulis, menyatakan, “sudah biasa mbak kayak gitu, sudah tradisi. Toh juga ndak ada yang marahin. Nggak rusak rusak amat juga bangkunya, masih bisa dipakek.”
            Dari artikel Miftahus tentang implementasi perwali kota Malang, menurut Soekanto yang mengutip pandangan Bierstedt bahwa faktor yang mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap suatu aturan diantaranya[10] :
a.      Indoktrination, merupakan ketaatan hukum yang terjadi karena doktrin lingkungan untuk berbuat demikian.
b.     Habituation , kesadaran yang dilahiran dari proses kebiasaan (proses yang lama).
c.      Unility , kepatuhan karena adanya patokan-patokan yang menjadi sebuah pedoman tingkah laku. Ini lebih condong kepada sebuah kepantasan.
d.     Group identification, kepatuhan ada karena  dijadikan sebuah identitas kelompok.
Dari keempat doktrin tersebut, pelanggaran tentang sarpras ini salah satu pelanggaran indoktrination . Menurut penulis, apabila peraturan yang telah tertulis di atas dapat disosialisasikan dan dikenalkan kepada seluruh mahasiswa, maka pelanggaran itu tidak akan terjadi.
Dengan mengembalikan lagi kepada hasil observasi, wawancara dan juga peraturan yang ada, sebuah pelanggaran yang telah terjadi tersebut harus tetap ditangani dengan mengaplikasikan sanksi sebagai konsekuensi hukumnya. Pengaplikasian ini dilakukan oleh beberapa pihak yang berwenang di kampus, seperti yang diterangkan dalam SK Rektor tentang Kode Etik dan Tatib mahasiswa tahun 2014 pada Bab VI pasal 10 :
“ Pihak yang berwenang memberikan sanksi adalah ketua jurusan, ketua prodi, dosen untuk sanksi yang ringan. Dekan untuk sanksi sedang dan Rektor untuk sanksi yang berat.”
            Surat keputusan dari Rektor tersebut sudah sangat jelas kepada pihak yang berwenang untuk memberikan sanksi, namun pada pengaplikasiannya tidak terdapat tindakan walaupun sebuah teguran. Hal ini mungkin saja karena tugas mereka tidak hanya untuk mengurusi hal tersebut. Selain itu, secara sosiologis berdasarkan observasi dan wawancara yang penulis lakukan, terdapat kecenderungan dari mahasiswa bahwasannya mahasiswa sendiri maupun dosen juga mengabaikan bahkan bersikap apatis atas perilaku yang sesungguhnya melanggar kode etik dan tata tertib mahasiswa. Selain itu, kurangnya sosialisasi akan peraturan menimbulkan ketidak tahuan mahasiswa sebagai subjek hukum dan merekapun juga terkesan menyepelekan serta bersikap tidak mau tau atas aturan yang ada.  
Kesimpulan dan Saran
            Dari seluruh uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pelanggaran yang terjadi di sekitar kampus UIN Maliki Malang tentang kewajiban memelihara sarpras kampus berkaitan dengan mencoret-coret bangku dan tembok kelas adalah dilator belakangi beberapa masalah sebagai berikut :
Sosiologis
Normative
a.    Pelanggaran dilakukan untuk mecari hiburan karena mahasiswa merasa bosan
b.    Menjadi sebuah kebiasaan karena kurangnya pengawasan dan sikap apatis dari seluruh pihak
c.    Tidak adanya kesadaran hukum karena kurangnya sosialisasi dari peraturan yang ada
a.   Tidak ada ketegasan dari pihak yang berwenang memberikan sanksi
b.   Para pihak yang berwenang memberikan sanksi bahkan tidak melakukan penertiban terkait pemeliharaan sarana dan prasarana kampus
Realitas hukum yang terjadi yang mana telah dipaparkan oleh penulis di atas, merupakan sebuah gambaran dimana dalam efektifitas hukum tidak hanya melihat dan menyalahkan masyarakat (mahasiswa) ataupun penegaknya (pihak yang berwenang memberikan sanksi). Sehingga agar tercapai hal itu dikembalikan lagi kepada kesadaran dari seluruh pihak serta komunikasi sebagai pengenalan hukum. Dari hal itu, kontrol sosial akan mudah dilakukan demi tercapainya ketertiban sesuai dengan tujuan dibuatnya sebuah peraturan serta kepatuhan seseorang terhadap hukum akan lebih pada komitmennya.

Daftar Pustaka

Jarwoko,Dwi dan Bagong Suyanto.2004.Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta:Kencana
Sholehudin,Miftahus.Implementasi Perwali Kota Malang Nomor 19 Tahun 2013 (artikel 
Kompasiana.com)
Surat Keputusan Rektor UIN Maliki Malang No:Un.03/PP.0.09/931/2014 tentang Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2014
Wingjosoebroto,Soetandyo.2013.Hukum dala Masyarakat.Yogyakarta:Graha Ilmu
Zainuddin.2008.Sosiologi Hukum. Jakarta:Sinar Grafika
https://www.academia.edu/Kesadaran_dan_Kepatuhan_Hukum_masyarakat


[1] Zainuddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h.62
[2] Miftahus Sholehudin,Implementasi Perwali Kota Malang Nomor 19 Tahun 2013, http://www.kompasiana.com/miftahus/implementasi-perwali-kota-malang-nomor-19-tahun-2013
[3] Soetandyo Wingjosoebroto,Hukum dala Masyarakat, (Yogyakarta:Graha Ilmu,2013), h.102
[4] https://www.academia.edu/8915240/Kesadaran_dan_Kepatuhan_Hukum_masyarakat

[5] Dwi Jarwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:Kencana,2004), h. 132
[6] Surat Keputusan Rektor UIN Maliki Malang No:Un.03/PP.0.09/931/2014 tentang Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2014, pasal 5
[7]Surat Keputusan Rektor UIN Maliki Malang No:Un.03/PP.0.09/931/2014 tentang Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2014, pasal 6 dan 7
[8] Surat Keputusan Rektor UIN Maliki Malang No:Un.03/PP.0.09/931/2014 tentang Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2014, pasal 8 dan 9
[9] Wawancara dilaksanakan Sabtu, 5 Desember 2015
[10] Miftahus Sholehudin,Implementasi Perwali Kota Malang Nomor 19 Tahun 2013, http://www.kompasiana.com/miftahus/implementasi-perwali-kota-malang-nomor-19-tahun-2013

Rabu, 18 November 2015

NILAI TOLERANSI PADA MAHASANTRI
MA’HAD SUNAN AMPEL AL-ALY (MSAA)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester 1 mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan yang diampu oleh dosen :
TEGUH SETIABUDI, M. H

Disusun oleh :

Dewiratri Nur’ilmi
NIM. 14220016






  


JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2014















BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Lahirnya pesantren mahasiswa adalah upaya untuk memadukan tradisi akademik dan tradisi pesantren. Fenomena ini bukan berarti menunjukkan ketidakberdayaan perguruan tinggi , tetapi sebaliknya menunjukkan tanggungjawab moral sebuah pendidikan tinggi di tengah hingar bingar pendidikan hedonisme pendidikan yang terus menggerus dan meminggirkan moralitas dan etika. Di samping itu pesantren ternyata juga bisa eksis di lingkungan kampus, lingkungan yang dulu dianggap “sekuler”, hal ini menunjukkan bahwa pesantren masih menjadi gerbong moralitas.
Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang atau biasa disebut UIN MALIKI Malang adalah salah satu universitas islam negeri yang telah berhasil menerapkan adanya pesantren mahasiswa yang diwajibkan untuk seluruh mahasiswa semester satu dan semester dua. Keberhasilan tersebut telah membawa universitas ini menjadi perguruan tinggi agama islam negeri terbaik di Indonesia. Eksistensinyapun semakin melesat dan banyak dikenal oleh seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat asing khususnya. Hal inilah yang menjadi ketertarika tersendiri untuk seluruh alumni sekolah menengah atas sederajat, khususnya yang berbasic islam untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi ini.
Setiap tahun ajaran baru, pendaftar yang terhitung berpuluh ribu calon mahasiswa baru bersaing dari seluruh Indonesia dan mancanegara, dimana mereka memiliki latar belakang budaya, suku, bahasa dan kebiasaan yang berbeda-beda. Setelah dinyatakan sebagai mahasiswa baru di UIN MALIKI Malang secara otomatis mereka juga bergelar mahasantri Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly. Di ma’had ini, setiap individu akan mendapatkan teman baru dan suasana baru yang jelas berbeda dari suasana sebelumnya. Perbedaan akan sangat terasa karena perbedaan latar belakang setiap individu. Sikap toleransi sangat diperlukan karena mereka secara mau tidak mau akan saling membutuhkan. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji nilai-nilai toleransi antar suku mahasantri ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly dalam beradaptasi dengan lingkungan dan teman baru dengan tidak melupakan jati diri bangsa Indonesia yang tertera dalam Pancasila.

B.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam makalah ini sebagai berikut :
1.     Bagaimana pengertian toleransi antar suku?
2.     Bagaimana usaha adaptasi dan toleransi antar suku dan etnis pada mahasantri?
3.     Bagaimana usaha yang dilakukan pengurus ma’had guna menyatukan persatuan antar mahasantri?

C.    TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan dari makalah ini sebagai berikut :
1.     Untuk menjelaskan pengertian dari toleransi anatar suku.
2.     Untuk menjelaskan usaha adaptasi dan toleransi yang dilakukan mahasantri.
3.     Untuk menjelaskan usaha yang dilakukan pengurus ma’had guna menyatukan persatuan antar mahasantri.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Toleransi antar Suku dan Etnis
Toleransi diartikan sebagai sikap dan tindakan yang menghargai   perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan pada orang lain yang berbeda dari dirinya. Toleransi awalnya sebagai kaidah dalam hubungan antar umat beragama, karena sejarah toleransi sendiri di Barat bermula dari konflik antar umat beragama. Perkembangan berikutnya, toleransi diluaskan pada perbedaan  suku, golongan, sikap dan pendapat pihak lain.
Perluasan makna toleransi dengan demikian akan memperluas skala cakupan yang semakin luas pula dan semakin sulit pula penanganannya bila berhadapan dengan suatu masalah. Jika Pancasila dipersepsikan memuat nilai toleransi dalam skala luas ini, maka juga akan selalu muncul tarik-menarik antara paham liberalisme dan komunitarian, sementara Pancasila sendiri secara filosofis tidak atau belum dikembangkan.
Dengan adanya perluasan makna toleransi, maka dapat disimpulkan bahwa makna atau pengertian toleransi antar suku dan etnis adalah sikap saling menghargai atas perbedaan dan kebiasaan yang dimiliki oleh masing-masing suku dan etnis serta budaya yang telah melekat pada diri individu.

B.      Sikap Toleransi antar Suku dan Etnis pada Mahasantri
Manusia itu menurut kodratnya adalah makhluk sosial, artinya makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dengan orang lain, membentuk masyarakat, membangun desa , membangun suku dan sebagainya dan akhirnya membagun sebuah negara yang dipertahankan bersama. Proses sosialisasi dan pembentukan masyarakat mulai dari yang kecil sampai dengan yang besar seperti tersebut di atas terjadi juga bagi bangsa Indonesia. [1]
Demikian juga dengan kehidupan mahasantri di ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly. Mereka yang berasal dari berbagai latar belakang dan etnis serta jauh dari keluarga.  Pasti akan membutuhkan keluarga baru, yakni teman-teman baru dan pendamping sebagai orang tua kedua. Dengan kodrat awal manusia sebagai makhluk sosial yang pasti memerlukan bantuan dari orang lain, terutama di lingkungan terdekat.
Rasa persatuan juga perlu ditanamkan dalam jiwa mahasantri. Hal ini karena dalam suatu kelompok pasti memiliki tujuan. Dalam mencapai tujuan suatu kelompok tersebut diperlukan suatu kebersamaan dan persatuan. Dengan menerapkan nilai toleransi, yakni dengan saling menghargai atas perbedaan anggota kelompok tersebut. Apalagi di dalam perkenalan dengan orang baru yang memiliki kebiasaan yang telah melekat pada dirinya. Kebiasaan inilah yang biasanya menjadi faktor penghambat dalam menyatukan misi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Selain itu mahasantri yang masih berusia remaja tentunya keadaan psikologis yang masih dalam tahap kelabilan. Keegoisan yang tinggi juga dapat menjadi penghambat pemersatu tersebut.
Mahasantri yang umumnya memiliki jiwa religius tinggi dan tekad mahasiswa sebagai agent of change pastinya memiliki pemikiran kreatif dalam menangani perbedaan – perbedaan tersebut. Seperti yang telah diterapkan oleh mahasantri di ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly. Dengan menanamkan jiwa persatuan dan sikap saling menghargai dimana kedua hal tersebut merupakan nilai dalam Pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia. Adanya kesadaran agar tetap bersatu dengan tidak melupakan nilai Pancasila dan tetap berlandaskan syariah Islam. Selain itu, rasa saling memiliki menjadi salah satu alat pemersatu diantara mereka.
Tentu tidak semua individu memiliki pemikiran akan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam proses sosialisasi dalam lingkungan baru. Untuk mencapai relasi yang diharapkan, sikap saling terbuka yang sepatutnya dan menerima berbagai pendapat dan perbedaan, pastinya akan menciptakan kepedulian dan saling mengerti. Oleh karena itu rasa kebersamaan dan kekeluargaan akan mudah tumbuh dan berkembang, sehingga persatuan mudah tercapai, tujuan yang diharapkan dapat terwujud dengan sendirinya.
Dengan dasar kebangsaan (nasionalisme) dimaksudkan bahwa bangsa Indonesia seluruhnya harus memupuk persatuan yang erat antara sesama warga Negara, tanpa membeda-bedakan suku atau golongan serta berdasarkan satu tekad yang bulat dan satu cita-cita bersama. Prinsip kebangsaan itu merupakan ikatan yang erat antara golongan dan suku bangsa. [2]

C.      Persatuan untuk Mahasantri
Dalam relasi antara nasionalisme dan Pancasila, kaum muda menduduki posisi yang strategis. Generasi muda tidak hanya menjadi obyek, melainkan juga menjadi subyek dalam menafsirkan dan mengamalkan Pancasila. Tentu tidak semua generasi muda menduduki posisi tersebut. Hanya generasi muda yang berjiwa muda yang memiliki posisi strategis. Sedangkan generasi muda yang lain cenderung pasip.
Peran pemuda yang sejak awal terbentuknya Negara bangsa cukup dominan dapat menjadi acuan dalam mempelajari nasionalisme yang bersifat progresif  yang merupakan dasar persatuan. Sifat progresif dan revolusioner Pancasila dapat terus dikembangkan oleh anak-anak muda dan mahasiswa yang memiliki perspektifdan cara berpikir yang baik melalui aktualisasi nasionalisme yang berbasis prestasi. Kesadaran sebagai warga Indonesia yang memiliki harga diri mendorong anak-anak muda mengembangkan prestasi secara optimal. Kreasi dan prestasi anak-anak muda yang tidak kalah dengan bangsa lain merupakan bentuk riil dari aktualisasi nasionalisme yang juga merupakan faktor terciptanya persatuan. [3]
Perencanaan dalam pengelolaan santri di Pesantren Mahasiswa terdiri dari langkah-langkah perumusan visi dan misi, penetapan tujuan dan sasaran, serta melakukan analisis strategis dengan mengidentifikasi kekuatan dan keterbatasan internal serta tantangan dan kendala eksternal. Visi dan misi yang dikembangkan ma’had tidak terlepas dari visi UIN MALIKI Malang. Mekanisme rekruitmen santri menyesuaikan dengan prosedur penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan panitia penerimaan mahasiswa baru UIN MALIKI Malang. [4]
Sedangkan ruang lingkup kegiatan  pengorganisasian santri meliputi pengelompokan santri berdasarkan jurusan dan kemampuan, dan penempatan santri pada unit hunian di pondok berdasarkan heterogenitas jurusan, asal daerah dan kemampuan.[5] Sehingga dengan percampuran latar belakang pada unit hunian dapat menumbuhkan rasa persatuan, Bhineka Tungga Ika yang merupakansemboyan persatuan bangsa Indonesia tercinta. Selain itu berbagai kegiatan dan permainan yang difasilitaskan kepada mahasantri dapat memicu keloyalan, kekompakan, kebersamaan, sikap menghargai, sikap saling memiliki dan saling membutuhkan semakin terasa di dalam perbedaan mereka.
Penggerakan dalam pengelolaan mahasantri ini meliputi tahap-tahap pemberian motivasi , komunikasi dan kepemimpinan. Motivasi diberikan melalui kata-kata dan tidakan/penghargaan yang dilakukan oleh semua dewan pengasuh. Komunikasi dilakukan secara formal dan non formal melalui lisan dan tulisan. Kepemimpinan di pesantren mahasiswa ini mengindikasikan kepemimpinan kolektif dan manajemen partisipatif. [6]
Meskipun norma-norma dari nilai Pancasila selalu berkembang dan sering diperdebatkan namun sosialisasi nilai Pancasila tetap dianggap penting. Sosiali Pancasila adalah bagian dari aktualisasi Pancasila yang dpat dilakukan dengan cara revitalisasi epistemologis, menjadikannya sebagai landasan etik pengetahuan , menjadikannya sebagai sumber hukum material dan sosialisasi itu sendiri melalui pendidikan (Kaelan, 2006). Sementara itu aktualisasi Pancasila merupakan problem akademik tersendiri yang perlu penanganannya, disamping problem sumber, tafsir, evolusi pemikiran dan apakah Pancasila itu subject of change. (Pranarka, 1985).
Proses intervensi karakter toleransi dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan mengorganisasikan isi dan modusnya. Isi karakter toleransi diwujudkan dalam suatu materi pembelajaran. Sementara modus berkaitan dengan cara/strategi/metode yang digunakan untuk mengembangkan nilai tersebut. Jika kita menggunakan ragam metode pendidikan karakter dalam religiulitas antara lain; pembiasaan, keteladanan, pujian dan sanksi, qishah/sejarah, hiwar/dialog, tafakkur/kontemplasi, dan amtsa/metafora (Ahmad Taufiq, 2011).
Pada akhirnya, wacana pendidikan karakter toleransi dan Pancasila sebagai salah satu sumber nilai karakter tidak hanya berhenti pada pengungkapan gagasan dan diperdebatkan. Perdebatan sekitar pemikiran Pancasila serta pendidikan karakter memang tidak berkesudahan. Namun demikian, sebagian energy kita perlu segera beralih pada problem aktualisasinya.
















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.     Toleransi diartikan sebagai sikap dan tindakan yang menghargai   perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan pada orang lain yang berbeda dari dirinya.
2.     Sikap toleransi antar suku dan etnis pada mahasantri ;
a.      Menerapkan nilai toleransi, yakni dengan saling menghargai atas perbedaan anggota kelompok.
b.     Menanamkan jiwa persatuan dan sikap saling menghargai dimana kedua hal tersebut merupakan nilai dalam Pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia.
c.      Adanya kesadaran agar tetap bersatu dengan tidak melupakan nilai Pancasila dan tetap berlandaskan syariah Islam. Selain itu, rasa saling memiliki menjadi salah satu alat pemersatu diantara mereka.
d.     Untuk mencapai relasi yang diharapkan, sikap saling terbuka yang sepatutnya dan menerima berbagai pendapat dan perbedaan, pastinya akan menciptakan kepedulian dan saling mengerti. Oleh karena itu rasa kebersamaan dan kekeluargaan akan mudah tumbuh dan berkembang, sehingga persatuan mudah tercapai, tujuan yang diharapkan dapat terwujud dengan sendirinya.
3.     Usaha pengurus
a.      Percampuran latar belakang pada unit hunian dapat menumbuhkan rasa persatuan, Bhineka Tungga Ika yang merupakansemboyan persatuan bangsa Indonesia tercinta. Selain itu berbagai kegiatan dan permainan yang difasilitaskan kepada mahasantri dapat memicu keloyalan, kekompakan, kebersamaan, sikap menghargai, sikap saling memiliki dan saling membutuhkan semakin terasa di dalam perbedaan mereka.
b.     Penggerakan dalam pengelolaan mahasantri ini meliputi tahap-tahap pemberian motivasi , komunikasi dan kepemimpinan.
c.      Ragam metode pendidikan karakter dalam religiulitas antara lain; pembiasaan, keteladanan, pujian dan sanksi, qishah/sejarah, hiwar/dialog, tafakkur/kontemplasi, dan amtsa/metafora (Ahmad Taufiq, 2011).


B.    SARAN
1.     Untuk masyarakat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat mengenai kehidupan pesantren mahasiswa. Dimana didalamnya terdapat berbagai macam dan beragam manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dari hal tersebut tentunya meraka juga akan bersosilisasi langsung dengan masyarakat, sehingga sikap toleransi tidak akan hanya diterapkan di dalam ma’had dan kampus, tapi juga di luar bersama masyarakat.

2.     Untuk mahasiswa/mahasantri
Kepada mahasiswa/mahasantri baru agar senantiasa mengerti dan mengetahui semua tentang perbedaan dan apa yang harus dilakukan dilingkungan yang baru. Segala perubahan pasti akan terjadi. Jadi menerapkan nilai Pancasila yakni toleransi (sikap saling menghargai) adalah kunci utama agar kita bisa menjalani proses mencari ilmu sesuai dengan harapan kita, kedua orang tua dengan tetap berdasarkan nilai Pancasila tanpa meninggalkan Syar’i. Dan apa-apa yang diterapkan oleh pengurus, semata-mata demi kebaikan mahasiswa/mahasantri itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Fadjar , Malik. 1992. Pancasila Dasar Filsafat  Negara. Malang : UMM Press.
Kansil, CST & Christine ST Kansil . 2011. Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta : Rineka Cipta.
Hariyono.  2014. Ideologi Pancasila.  Malang : Intrans Publishing.
Mu’awanah. 2009. Manajemen Pesantren Mahasiswa. Kediri : STAIN Kediri Press.



[1] Malik Fadjar. Pancasila Dasar Filsafat Negara. Malang : UMM Press. 1992. h. 88.
[2] Kansil, Christine. Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta : Rineka Cipta. 2011. h. 34.
[3] Hariyono. Ideologi Pancasila.  Malang : 2014. h. vii
[4] Mu’awanah. Manajemen Pesantren Mahasiswa. Kediri : STAIN Kediri Press. 2009. h. 113
[5] Ibid. h. 114
[6] Ibid. h. 114